Indonesia adalah negara dengan kekayaan budaya yang melimpah, termasuk beragamnya etnis serta suku bangsa. Salah satunya keberadaan budaya-budaya peranakan China. Namun, bagaimana sebenarnya sejarah peranakan China di Indonesia mulai berkembang?
Dikutip dari siaran pers IPSH Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Senin (23/1/2023), perjumpaan budaya China dan Nusantara (Indonesia) dalam manuskrip, menghasilkan banyaknya akulturasi dan asimilasi yang bersifat top-down. Disampaikan dalam forum diskusi Pusat Riset Manuskrip, Literatur dan Tradisi Lisan (PR MLTL) bertema Perjumpaan Budaya dan Nusantara dalam Manuskrip, disampaikan bahwa penyerbukan budaya dapat dilihat dari sisi manuskrip.
Contohnya, yang berasal dari temuan arkeologi. Sebab, pada dasarnya, manusia hidup karena adanya perjumpaan budaya pada masa lalu. Seperti halnya dalam manuskrip yang berbicara tentang keseharian komunitas Tionghoa yang memiliki label tertentu. Baca juga: Sejarah Akulturasi Budaya China dalam Wayang Cina Jawa di Yogyakarta Sejarah perjalanan orang China ke Indonesia Orang Tionghoa peranakan pada zaman dulu dikenal dengan Cina Benteng, yang mana mereka adalah keturunan dari perkawinan antara Tionghoa dengan warga pribumi lokal.
Kendati orang China, Cina Benteng kaya akan budaya dan masih memegang teguh tradisi dan budaya Tiongkok yang diturunkan dari nenek moyang dan leluhur, namun banyak dari mereka yang tidak mengerti dan tidak memahami makna filosofis dari semua urutan-urutan tradisi dan budayanya. Dosen Universitas Buddhu Dharma, Hendra mengatakan sejarah perjalanan masyarakat China ke Indonesia, tidak terlepas dari peran Laksamana Cheng Ho saat sampai di Tangerang.
Cheng Ho adalah orang Tionghoa yang tinggal di sekitaran benteng Belanda, yang pada masa itu disebut dengan istilah Cina Benteng. Sementara itu, orang Tionghoa yang berada di wilayah utara Tangerang disebut dengan Cina Ulu, sedangkan orang Tionghoa yang ada di wilayah selatan disebut Cina Udik. Sejarah perjumpaan budaya China dan Jawa Catatan sejarah mengenai perjumpaan China dan Jawa disebutkan terjadi pada masa pemerintahan keenam Kaisar Yongjian (131 M). Disebutkan bahwa Raja Yediao (Jawa) bernama Bian mengirim utusan mereka untuk memberikan sesembahan ke China.
Comments