Rupiah yang dikenal sekarang bukanlah satu-satunya jenis uang di Indonesia. Sejak masa penjajahan sampai kini, Indonesia mengenal banyak uang yang pernah dipakai. Apa saja jenis uang tersebut?
Secara umum, peredaran uang pada masa penjajahan dikendalikan oleh bangsa Barat yang menduduki Nusantara. Di beberapa daerah seperti Jawa, memiliki jenis uang tersendiri saat dikuasai oleh Inggris.
Sementara secara umum, pada masa Hindia Belanda, keuangan dikendalikan dan dikeluarkan oleh pemerintah atas nama Raja Belanda.
Berikut ini beberapa uang yang pernah dipakai pada masa penjajahan, dikutip dari laman resmi Bank Indonesia (BI).
Daftar Uang yang Pernah Dipakai pada Masa Penjajahan:
1. Ropij Jawa - 1813
Pada kurun waktu 1808-1815, Hindia Timur berada di tangan Inggris. Kala itu, Raffles berusaha memperbaiki keadaan keuangan di wilayah ini dengan menarik sekitar 8,5 juta Rijksdaalder dari peredaran, dan menghidupkan kembali Real Spanyol sebagai standar mata uang perak.
Pada tahun 1813, Real Spanyol kemudian digantikan dengan Ropij Jawa yang terbuat dari emas, perak, dan tembaga, yang dicetak di Surabaya.
2. Uang Gulden Hindia Belanda - 1817
Kemudian pada 1817, Ropij Jawa diganti dengan Gulden Hindia Belanda uang diterbitkan oleh pemerintah pada masa Komisaris Jenderal Elout, Buyskes, dan Van der Capellen (1815-1819).
3. Uang pada Masa Oktroi I - VIII
Bank pertama di Jawa lahir pada 1828 dengan nama De Javasche Bank. Pendirian bank ini atas usulan Raja Willem I.
Bank di Jawa ini didirikan dengan berlandaskan kepada suatu Oktroi, yaitu wewenang khusus dari Raja Belanda.
Berdasarkan Oktroi tersebut, De Javasche Bank diberi wewenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas bank dengan nilai lima gulden ke atas.
4. Uang Logam Duit
Karena terbatasnya pencetakan, sebagian uang yang beredar di Hindia Belanda merupakan uang logam, yaitu uang logam Duit (mata uang recehan tembaga yang diterbitkan VOC tahun 1727) yang kembali diberlakukan Van Den Bosch.
5. Uang pada Masa De Javasche Bankwet
Pada 1892, De Javasche Bankwet menggantikan Oktroi. Meski begitu, De Javasche Bank tetap mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas dengan pecahan lima gulden ke atas.
Uang kertas yang pernah dicetak De Javasche Bank di antaranya seri J.P. Coen, seri bingkai, dan seri mercurius. Adapun seri wayang merupakan uang kertas terakhir De Javasche Bank, sebelum Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang.
6. Uang Jepang - 1942
Pada masa pendudukan Jepang, nilai gulden dan Rupiah Hindia Belanda, berusaha dipertahankan. Pemerintah Militer Pusat, Gunseikanbu bahkan melarang penggunaan mata uang lain.
Pada masa ini, pemerintah pendudukan Jepang juga menerbitkan dan mengedarkan mata uang kertas yang disebut uang invasi.
Emisi pertama berbahasa Belanda, beredar pada tahun 1942. Emisi kedua, bertuliskan 'Pemerintah Dai Nippon', namun tak sempat diedarkan. Sementara emisi ketiga, bertuliskan 'Dai Nippon Teikoku Seihu', diedarkan pada tahun 1943.
Namun, setelah pasukan sekutu mendarat di Tanjung Priok pada 29 September 1945, komandan pasukan melarang penggunaan uang Jepang dan mengedarkan uang NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
7. Uang NICA - 1945
Pada awal kemerdekaan Indonesia, kondisi moneter semakin memburuk ketika NICA dengan Sekutu menduduki kota-kota besar Indonesia dan menguasai bank-bank Jepang.
Parahnya, mereka juga mengedarkan Rupiah jepang dari bank-bank tersebut. NICA menggunakan Rupiah jepang untuk membiayai operasi militer mereka, membayar gaji pegawai pribumi, dan mengedarkan uang tersebut ke seluruh Indonesia guna menarik simpati masyarakat.
NICA juga mengedarkan Hindia Belanda baru yang dikenal sebagai uang NICA. Perlakuan NICA ini telah memperparah kondisi keuangan Indonesia.
Akhirnya, pada 2 Oktober 1945, pemerintah Indonesia mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa mata uang NICA tidak berlaku lagi di wilayah Republik Indonesia.
8. Uang ORI
Pemerintahan akhirnya menerbitkan ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) dan mulai diedarkan pada Oktober 1946. Situasi keamanan yang tidak menentu membuat peredaran ORI tersendat-sendat.
Kala itu, ORI tetap diedarkan secara gerilya dan terbukti mampu membangkitkan rasa solidaritas serta nasionalisme rakyat Indonesia.
9. Uang ORIDA (ORI Daerah)
Setelah Agresi Militer Belanda, Indonesia sempat kekurangan uang tunai akibat terputusnya komunikasi antara pusat dan daerah.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah pusat memberi mandat kepada para pemimpin daerah untuk menerbitkan mata uang lokal, yakni ORI-Daerah (ORIDA) yang berlaku sementara di daerah masing-masing.
Sejak 1947, ORI-Daerah atau ORIDA ini terbit antara lain di Provinsi Sumatra, Banten, Tapanuli, dan Banda Aceh.
10. Uang RIS
Pada 1 Mei 1950, pemerintahan RIS menarik ORI dan ORIDA dari peredaran, menggantinya dengan mata uang RIS yang telah berlaku sejak 1 Januari 1950.
Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara mengeluarkan kebijakan penyehatan keuangan yang dikenal sebagai 'Gunting Sjafruddin' dengan menggunting uang kertas De Javasche Bank dan Hindia Belanda pecahan di atas f2,50.
Pada Agustus 1950, bentuk Negara Indonesia kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan uang RIS tidak berlaku lagi.
Kewenangan Bank Indonesia dan Pemerintah
Berdasarkan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia No.11/1953, Bank Indonesia memiliki wewenang untuk menerbitkan dan mengedarkan uang pecahan lima Rupiah ke atas.
Untuk uang kertas pecahan di bawah lima Rupiah dan uang logam masih merupakan kewenangan Pemerintah Indonesia.
Dengan Undang-Undang No.13/1968 tentang Bank Sentral, Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki hak tunggal untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas dan uang logam.
Kewenangan ini tercantum juga dalam Undang-Undang No.23/1999 tentang Bank Indonesia yang diamandemen dengan Undang-Undang No.3/2004 tanggal 15 Januari 2004.
Pada tahun 1953, untuk pertama kalinya uang kertas Bank Indonesia dengan tanda tahun 1952 beredar di Indonesia.
selengkapnya https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7133287/gulden-hingga-nica-ini-uang-yang-dipakai-pada-masa-penjajahan-belanda-jepang.
Comments