Sutradara yang harus terus merahasiakan identitasnya. Ia mengambil gambar secara rahasia. Periode yang gelap di Myamar ditayangkan di layar lebar dalam "Losing Ground", sebuah karya berdurasi 23 menit yang diberikan anugerah Oktober lalu dalam Festival Film Dokumenter Internasional Yamagata.
Hampir tiga tahun berlalu sejak kudeta militer menghancurkan tatanan demokratis di Myanmar. Di tengah pertumpahan darah yang terus berlangsung, "Losing Ground" mengangkat ketidakadilan, kemarahan, serta ketidakpastian yang dirasakan banyak anak muda.
Terdapat 14 karya dari Myanmar yang dimasukkan ke festival film yang diadakan antara 5 hingga 12 Oktober tersebut. Tiga di antaranya dipilih sebagai karya yang menonjol untuk ditayangkan. Tema yang sama di antara ketiganya adalah pergulatan.
Perlawanan dan ketahanan
"Losing Ground" diberikan anugerah hadiah tertinggi dalam kategori Asia Baru Terkini. Film ini dibuka dengan suara sutradara yang dirahasiakan identitasnya, orang biasa yang tumbuh besar di Yangon, tetapi akhirnya menghabiskan delapan bulan dalam penjara karena keterlibatannya dalam gerakan perlawanan.
"Yangon ...""Yangon adalah tempat kami tumbuh besar.""Impian kami dan waktu menjadi tidak menentu.""Pada 1 Februari, semua kebebasan menghilang."
"Saya memutuskan untuk membuat film itu karena setelah dibebaskan dari penjara, dunia luar tampak mengungkung seperti di dalam penjara. Banyak orang muda yang menderita dari rasa stagnasi dan kecemasan," tuturnya.
Menahan rasa sakit
Subjek film ini ditampilkan sedang memandang ke luar jendela. Perasaan tak berdaya menggantung di udara, seakan mereka terpenjara. "Tiada seorang pun yang telah mengalami apa yang saya alami. Namun, semua orang hidup yang tinggal di bawah rezim ini punya rasa penderitaan yang sama," ujar sutradara tersebut. "Kami semua menahan rasa sakit ini, dan itulah mengapa saya rasa penting untuk mendokumentasikannya."
Proses itu sendiri sulit. "Orang-orang mempertanyakan dan kadang bahkan ditahan oleh militer, hanya karena memiliki kamera."
Comments